Sabtu, 13 April 2019

Mengenal Jakarta Tempo Doeloe

Monas pada Tahun 1977
Sebuah kisa dapat mengalir oleh oleh karena ingatan yang tajam. Saya masih ingat ketika ibu saya menceritakan masa kecilnya. Ibu saya juga menceritakan bagaimana ketika beliau berteman dengan seorang laki-laki yang sekarang menjadi ayah saya. Bagi saya yang mendegarkan cerita, hanya bisa membayangkan suasana peristiwa itu terjadi seraya (mungkin) menyusuri kembali tempat-tempat dimana terjadi peristiwa tersebut.

Tio Tek Hong, seorang peria tionghoa yang pernah hidup di jakarta pada abad ke-19 dan awal abad 20 menceritakan masa kecilnya gingga dewasanya pada pembaca. Kisa perjalanan Hidupnya berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat pada waktu itu. Ia adalah saksi keindahan kota Jakarta tempo doeloe serta surutnya kekuasaan penjajah kolonial.

Tio Tek Hong dibesarkan dalam keluarga tionghoa. Ia dilahirkan pada 7 Januari 1987, di Passer Baroe, atau dengan sebutan saat ini adalah Pasar Baru. Letusan dahsyat Gunung Krakatau pada 1883 sebagai pembuka baru bab ini. Hujan abu serta banyaknya batu apung banyak sekali di sekitar tempat tinggal mereka. Satu hal menarik, ia mencatat bahwa akibat bencana yang menelan banyak korban jiwa itu diciptakan nyanyian Gambang Kromong Kramat Karem.

Profesinya sendiri adalah seorang pedagang. Namun satu hobi yang membuat ia bangga adalah berburu. Ia membentuk perkumpulan berburu serta menulis buku tentang berburu "Penuntun, pengetahuan dan nasehat Fatsal Memburu Binatang dan Burung." Hobi tersebut ternyata bermanfaat bagi kesehatannya, ia mengatakan bahwa berburu menggerakan seluruh anggota tubuh serta menyegarkan paru-paru dan pikiran. Selain itu berburu, membuat para pemburu tetap merasa gagah dan muda.

Bagai mana dengan kondisi kota jakarta dan masyarakatnya? Tio Tek Hong mengatakan bahwa Pasar Baru adalah pusat dagangnya di jakarta. Jalan-jalan di kota diisi dengan kereta kuda maupun jalur trem kereta yang menghubungkan Kota-Harmonie-Gambir-Pasar Baru-Kramat-hingga Jatinegara.
 
Gedung Kesenian Jakarta (Depan Pasar Baru)
Trem Kereta Di Jakarta Tempo Doeloe
Jalan Hayam Wuruk
Keadaan masyarakat yang cukup detil diceritakan adalah kebudayaan masyarakat Tionghoa. Ia menceritakan bagaimana suasana perayaan Sin Chia, Cap Gou Meh, dan Cngge. Pada perayaan Sin Chia (Tahun Baru), mereka berpakaian baru dan memberi salam kepada saudara-saudara serta mengunjungi anggota keluarga yang lain. Setiap ucapan selamat, diganjar dengan amplop merah (Angpaw) berisikan Uang.

Satu hal lagi yang menarik adalah perayaan Ulang Tahun Ratu Wilhemina yang dilakukan di pasar Gambir. Setiap tanggal 31 Agustus adalah puncak acara Pasar Gambir tersebut. Berbagai stand ikut memeriakan acara tersebut, Ada tontonan sulap, komedi putar, American Carnaval Show, Panjat Pinang, dan sebagainya.
 
Pintu Masuk Pasar Gambir (1925)
Pasar Gambir Pada Waktu Malam (1928)
Hebonya menonton Bioskop Tempo Doeloe

Menutup cerita di buku ini, Tio Tek Hong membagi rahasia panjang umurnya. Ketika buku tentang kisah hidupnya ini dibuat, ia sudah berusia 70-an tahun. Salah satu tipsnya adalah jangan bergadang, minum alkohol, bangun tidur buat gerakan sedikit serta minum air banyak. Pepatah yang jadi gaya hidupnya:

Jika bangun pagi hari,
Rejeki selalu menghampiri,
Segala penyakit akan lari,
Bikin sehar kau punya diri!

Buku kecil ini cukup membuat kita berimajinasi pada kota Jakarta Zaman Doeloe. Dari satu sudut pandang seorang pemilik toko dan pemburu masih sangat kurang bagi kita yang ingin mengenal Jakarta masa lalu. Namun paling tidak, warisan cerita ini adalah sesuatu yang berharga untuk menyusun memori tentang gambaran sejarah masa lalu kota yang makin hari makin di kepung macet, banjir, dan gedung-gedung tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah yang sopan dan jangan buang waktu untuk melakukan spam. Terimakasih